Jalanan jakarta

Jalan kaki di Jakarta serasa main video game.
Hindari Lubang! Loncat! Ada genangan air! Ada rintangan! Ranting pohon berduri! Tukang palak!
Makin semangatlah koar-koar kalau Jakarta harus pakai mobil, nggak layak jalan.

Lebih yahud lagi, berani coba jalanan Jakarta pas hujan?
Gue dan Nat diantar ke daerah Semanggi saat cuaca mendung.
Mestinya sampai sebelum hujan, tapi Jakarta wajib macet,
ekstra 30 menit. Langit makin mengancam. Tenang, ada payung.

Turun di jembatan penyebrangan, masih harus jalan 15 menit.
Hujan dan angin makin menggila.
Nggak bisa berteduh di jembatan penyebrangan, air hujan tetap nyiprat.
WUs! Angin tiba-tiba kencang, payung terbalik dan jepit jari tangan. Kulitnya lepas...Aw

Nggak ada halte bus, nggak ada tempat berteduh. Jalan terus!
Trotoar hancur, jalan dengan kaki nyemplung genangan air.
Kadang mesti jalan di pembatas batu, sekalian ngetes keseimbangan badan.

Sampai di tempat tujuan, celana basah kuyup, sepatu nyerap air.
Keringkan badan seadanya di toilet dan lanjut meeting di ruangan ber-AC
3 jam di sana, sampai celana sudah mulai kering dan badan menggigil.

Pulang, ganti baju santai, ganti sandal, makan malam.
Nat mulai mual, panas, pusing. gejala masuk angin. Istirahat, minum tolak angin.
Untungnya meski bersepatu basah 3 jam gue masih belum ada gejala sakit.

Jalanan Jakarta Seakan nggak puas gue nggak sakit,
gue kesandung gundunkan aspal tajam di jalan.
Kulit jempol dekat kuku robek.

That's the boiling point.
Marah! Marah! Tapi marah ke siapa?
Emang yang punya wewenang ngebangun peduli sama jalanan Jakarta?

Nggak perlu mobil.
Cuma pengen punya Trotoar layak jalan dan sarana umum yang beradab.

Am I asking too much?
I guess so...